Rabu, 08 Juni 2011

eta LAITA ale

Kata LAITA, saya adopsi dari nama sebuah gerakan yang pernah ada di gereja saya (GKPS) yaitu “Kongsi Laita”, sebuah gerakan swadaya masyarakat Kristen-Simalungun yang didirikan pada tanggal 15 November 1931 di Sondi Raya untuk mengabarkan Injil kepada orang Simalungun yang masih memeluk agama suku. Gerakan ini memberi pengaruh besar pada pertumbuhan gereja GKPS.
Kata "Kongsi" serupa artinya dengan "Parhasomanon" (bahasa Simalungun) atau "Vereeniging" (bahasa Belanda) yang merujuk pada organisasi. Namun tidak ada kewajiban atau iuran bagi anggota sebagaimana organisasi umumnya. Pendanaan bagi setiap kegiatan di dalamnya bersifat swadaya, didorong oleh perasaan berhutang dalam tiap anggota pada saudara-saudaranya yang masih beragama suku.
Kata "Laita" dalam bahasa Simalungun berarti "ayo kita pergi." yang mencerminkan semangat dan dorongan untuk bergerak memberitakan Injil.
Sesuai dengan makna namanya, Kongsi Laita merupakan komunitas yang terdorong untuk memberitakan injil ke pada saudara-saudaranya untuk memberitakan Injil . Semangat penginjilan Kongsi Laita didasarkan pada
perintah amanat agung Yesus Kristus dalam Alkitab, Matius 16:15.

Sejarah awalnya, seusai kebaktian minggu pada tanggal 15 November 1931, beberapa orang Kristen-Simalungun dari Sondi Raya sepakat untuk mengadakan rapat di rumah Gomar Saragih untuk membentuk suatu organisasi pekabaran Injil. Rapat tersebut dihadiri oleh:
  1. St. Parmenas Purba Tambak
  2. Gomar Saragih Sumbayak
  3. Guru Williamar Sumbayak
  4. St. Jonas Girsang
  5. Sekia Sumbayak
Malam itu didirikanlah Kongsi Laita dengan susunan kepengurusan:
  • Ketua: Guru Williamar Sumbayak
  • Sekretaris/Bendahara: St. Parmenas Purba Tambak
  • Komisaris:
    • St. Jonas Purba
    • Melanthon Saragih
    • Mailam Purba
Gerakan ini berusaha menyebarkan Injil dengan cara dan pendekatan yang memanfaatkan kultur Simalungun. Selain menggunakan bahasa Simalungun sebagai pengantar, komunitas ini juga menggunakan adat Simalungun dalam mengabarkan Injil. Sebelum berkunjung ke rumah orang yang hendak di-injili, diadakan acara pendahuluan berupa "manurduk demban sayur," atau menyajikan makanan adat "dayok na binator." Dalam pengabaran Injil mereka mengganti istilah "zending" dengan istilah "Mangarah" yang maknanya lebih mendalam bagi orang Simalungun. Kedalaman hubungan dengan orang yang diinjili juga semakin dekat secara emosionil dengan "martutur."
Misi pekabaran Injil sangat diutamakan oleh komunitas ini sehingga terciptalah aturan kongsi (pati-patian ni kongsi) yang berbunyi: "Anggo marsahap ham atap ija pe pakon sada halak, gabe anggo marbuali ningon ma bani hata palimakababahkon mansahapkon hata ni Naibata. Siotikon anggo samah Kristen manungkun atap marminggu do ia. Anggo naso tinanda gabe sungkunon atap na dob marminggu do ia" (bahasa Simalungun, artinya: Kalau anda berbicara dengan seseorang di mana saja, haruslah anda selipkan firman Tuhan pada kalimat kelima. Minimal kalau pada sesama orang Kristen menanyakan apakah dia mengikuti kebaktian minggu. Kalau dengan orang yang tidak dikenal hendaknya ditanyakan apakah ia sudah beragama Kristen).
Sebuah gerakan yang luar biasa dengan metode yang kreatif. Bukankah gagasan ini perlu dibangkitkan kembali saat ini? Memang masalah kita bukan lagi agama suku, tetapi orang Kristen sendiri juga perlu memahami Injil itu dengan benar dan mendalam. Tapi, siapa yang yang harus pergi memberitakan Injil? Bisa saja kita menyebut figur Pendeta, Sintua, atau pengerja Gereja yang lain. Tapi bukankah itu tugas kita bersama? Tugas yang diembankan kepada setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Ya kita-kita yang membaca ini mendapat mandat Penginjilan sesuai dengan Matius 28: 19-20. Eta LAITA ale... (ayo kita pergi kawan..)


2 komentar:

  1. saya terkagum, semangat memberitakan injil yg didasari Kristus didalammya. semoga menginspirasi yg lain, syalom

    BalasHapus
  2. angel.. Shalom juga. Kalau kita kembali ke prinsipnya, maka tugas gereja yang utama dan pertama adalah memberitakan Injil. Salam

    BalasHapus